Di dunia yang sudah modern ini, kadang-kadang lucu juga melihat perilaku masyarakat di Jakarta yang memang lebih majemuk dibandingkan kota lainnya. Tapi di satu waktu, masyarakat yang sudah modern ini harus tetap kembali ke akarnya alias rasa kedaerahannya atau juga tunduk kepada norma-norma yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri.
Minggu kemarin adalah acara seserahan kakakku sebelum Minggu depan ia melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihannya. Sesuai keinginan keluarga perempuan, seserahannya harus banyak jumlahnya dengan bermacam-macam jenisnya. Seperti seserahan terdahulu (keluarga kami sudah melewati 3 kali pernikahan), kami membawa selain uang cash juga beberapa macam kue dan buah serta perlengkapan calon mempelai perempuan seperti tas, kain, perlengkapan mandi, sepatu dan kosmetik dengan jumlah yang lebih banyak. Juga tidak ketinggalan sepasang roti buaya yang merupakan adat dari keluarga kami. Seserahan ini harus disebutkan besar dan jenisnya sebelum diterima oleh keluarga perempuan di depan rumah. Hal ini memang disengaja, agar tetangga di sekitarnya mendengar seserahan yang kami bawa. Maksudnya adalah menunjukkan kepada lingkungan sekitar, bahwa anak gadisnya dilamar bukan oleh orang sembarangan.
Di hari lain mungkin orang lain akan berkata bahwa yang kami lakukan ini adalah menyombongkan diri. Tetapi karena adat dan kebiasaan yang telah terbentuk selama turun temurun tidak mudah untuk dihilangkan, maka hal menjadi wajar untuk dilakukan. Bahkan ini menjadi suatu keharusan oleh sang keluarga perempuan yang memang rasa kedaerahannya lebih kental dibandingkan kami. Dan sebagai balasannya, kami pulang dengan tidak dengan tangan kosong. Karena kami membawa kembali macam-macam bawaan yang ibuku bilang sebutannya adalah kue bacot (alias mulut). Karena macam-macam kue ini nantinya harus dibagi walaupun sedikit kepada tetangga di sekitar rumah kami agar tidak ramai menjadi bahan omongan. Lucunya lagi, walaupun keluarga perempuan bukanlah dari daerah yang sama dengan keluarga kami tetapi mereka berusaha menyamakan dengan kami. Jadi kami membawa pulang sepasang ayam bekakak - aku sih gak ngerti kenapa disebut begitu - yaitu sepasang ayam utuh dengan telor untuk membedakan antara yang jantan dan betina, lalu kue geplak - enak loh kue ini, walaupun susah memotongnya - juga tidak lupa kue bugis, yang khas Jakarta.
Di acara seperti ini, ada satu hal yang buat aku sebel. Kayaknya sudah menjadi rutinitas aja, setiap saudara yang ketemu aku pasti bertanya, "kapan nih giliran kamu?". Ya ampun, kakakku aja belum kelar nikahannya aku kok udah ditanya-tanya. Kalo sekali-sekali aja sih biasa aja, tapi ini sering banget, bahkan yang udah pernah nanya masih menyibukkan diri untuk nanya hal yang sama ini berulang-ulang kali. Sabar dong... sabar. Kalo jodoh pasti gak akan lari kemana-mana. Betul kan??
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment