3 hari setelah aku dinyatakan gagal melalui tes tertulis untuk pembuatan SIM, aku kembali lagi. Kali ini dengan tekad lebih kuat dengan cara apa pun aku harus mendapatkannya.
Sebelumnya - saat aku menerima hasil tesku yang gagal itu - aku diarahkan untuk berkumpul di sebuah ruangan. Di sana ternyata peserta yang gagal dijanjikan akan dibantu, cukup dengan membayar 250 ribu rupiah. Tentu saja aku menolak. Malu dong. Dengan biaya sebesar itu aku bisa mendapatkan SIM tanpa tes hanya dengan meluangkan waktu berkumpul bersama dengan rekan-rekan kantorku. Oleh karena itu aku harus lulus.
Kali ini aku lulus tes tertulis walau dengan nilai minimum. Besar keingintahuanku apakah sedemikian bodohnya aku dalam mengerjakan soal-soal sederhana itu. Atau adanya ketidakakuratan sistem komputer yang digunakan. Atau juga memang adanya unsur kesengajaan *hmm... sambil mengernyit. Ya udahlah, aku masih ada ujian praktek.
Setelah melihat lokasi ujian praktek, keyakinanku semakin tebal. Aku makin yakin... yakin gagal. Gimana bisa, aku harus melewati rintangan jalur sempit yang kanan kirinya dibatasi oleh sepotong kayu selebar 60 cm (ini kata pengujinya loh – akurat infonya) padahal sepeda motor bebek itu lebarnya sekitar 50 cm. Lebih baik menggunakan sepeda motor laki, yang katanya lebih sempit. Bila menjatuhkan kayu sebanyak 2 buah atau menurunkan kaki sebanyak 2 kali maka akan dinyatakan gagal.
Dengan keyakinan akan gagal aku tetap mengikutinya. Hasilnya? Ya tentu saja gagal. Berbarengan dengan peserta lain yang gagal - maksudnya seluruh peserta, karena sampai saat itu belum ada yang berhasil - kami mendatangi petugas yang akhirnya mengarahkan kami untuk membayar 150 ribu rupiah agar bisa mendapatkan SIM.
Rekan-rekan kantorku menyatakan, kantor tempatku bekerja - entah karena fungsinya sebagai lembaga penyiaran atau karena sumbangan finansial yang diberikan kepada POLRI - banyak diberikan kemudahan oleh polisi. Antara lain, bila melanggar lalu lintas dan juga membuat SIM. Masalahnya, aku tidak punya banyak keberanian untuk menggunakan kemudahan itu. Namun kali ini aku berkeras hati untuk menggunakannya.
Dengan alasan tadi, aku menunjukkan ID Card-ku. Sang petugas kembali mengarahkanku untuk menemui kepala di sana. So, aku mencarinya. Setelah kutunjukkan ID Cardku, petugas di sana dengan baik sekali mempersilahkanku duduk dan ia sendiri membantu mengurus surat-suratku. Setelah katebelece-nya kelar, tanpa meminta sepeser pun, ia memberikan surat-suratku. Setelah itu semua lancar-lancar saja, hingga mendapatkan SIM-ku.
Owh, Gosh. Jarang aku mendapatkan keuntungan seperti ini sebagai seorang karyawan. Beruntung? Tentu saja. Namun yang menjadi keprihatinanku, lembaga kepolisian kita memang belum berubah. Lalu bagaimana bisa memperbaiki kepribadian pengguna jalan kita?
1 comment:
wah enak banget...
sampeyan kerja dimana???
ntar aku nyusul yaaa... :p
Post a Comment