Kisah singkat Eragon. Suatu hari Eragon, anak petani miskin berusia lima belas tahun, menemukan "batu" berwarna biru yang indah. Ternyata batu itu telur naga! Ditemani Brom si pendongeng tua dan naga yang dinamainya Saphira, Eragon belajar berbagai hal mengenai sejarah dan naga. Brom juga mengajarkan ilmu sihir dan ilmu pedang karena ternyata Eragon adalah penerus klan para Penunggang Naga. Klan ini punah karena ditumpas Raja Galbatorix yang kejam. Berbekal ilmu dari Brom, Eragon bertekad membangun kembali klan Penunggang Naga, meskipun itu berarti ia harus menghadapi berbagai makhluk ajaib seperti elf, kurcaci, Urgal, Ra'zac, dan Shade, yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi daripada darinya.
Jangan salahkan kami penggemar epik Middle-Earth oleh JRR Tolkien yang akan membanding2kan. Secara garis besar kisah Eragon sama dengan LOTR, yaitu petualangan di dunia khayalan di mana ada bahasa, nama dan makhluk eksotis seperti elf, dwarf dan naga. Ketika aku membuka halaman depan tergambar peta dunianya Eragon. Pada bagian belakangnya ditulis arti dari kata2 yang dipergunakan oleh Elf, Dwarf dan Urgal. Hal ini serupa dengan buku2 JRR Tolkien.
Jadi, aku mulai membaca Eragon dengan pretensi bahwa buku ini hanyalah pengekor dari trilogi LOTR. Tapi setelah beberapa bab, aku mulai menikmati jalan ceritanya dan setelah selesai, aku merasa cukup terbawa hingga memutuskan untuk membeli lanjutan kisah Eragon ini. Pada awal cerita terasa lambat, tetapi ketika Eragon memulai petualangannya cerita makin menarik. Sayangnya di penghujung buku terasa agak kurang gregetnya.
Beberapa kekurangan yang aku perhatikan adalah terasa dipaksakannya cinta Saphira si naga terhadap Eragon. Hubungan istimewa antara mereka berdua tidak terbangun dengan baik, tiba2 saja Saphira menunjukan kasih sayang yang besar terhadap penunggangnya.
Tapi bila diingat bahwa Christoper Paolini baru 15 tahun saat menulis buku ini, kekurangan2 tadi bisa dimahfumi. Siapa tahu buku selanjutnya bisa menyamai (setidaknya mendekati) buah karya JRR Tolkien.
Sebenarnya bila ingin adil dalam membandingkan adalah dengan Harry Potter (JK Rowling) atau The Hobbit (JRR Tolkien) yang pangsa ceritanya adalah untuk anak-remaja. Gaya Paolini dalam bercerita seperti anak laki2 pada umumnya yang tertarik pada heroisme dan ketangguhan. Sedangkan gaya Rowling seperti ibu yang bercerita kepada anaknya dan lebih menonjolkan persahabatan dan romantisme selain kepahlawanan. Nah.. bagi kamu yang suka cerita seperti ini, aku anjurkan untuk membaca The Hobbit. Tolkien membuat buku ini untuk anaknya yang masih kecil. Bila kamu merasa trilogi LOTR terlalu rumit untuk dibaca, The Hobbit akan menghibur kamu sekaligus menjembatani cerita LOTR.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment